Pembangunan Desa: Tulang Punggung Negara Berkembang
Pengembangan dan pembangunan desa merupakan hal yang begitu penting bagi sebuah negara, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pasalnya, desa merupakan penopang kehidupan sebuah negara dimana mayoritas produsen pangan berasal dari desa, contohnya adalah desa Tuik, kecamatan Kelapa dikutip dari bangkapos.com, dimana desa Tuik sejak tahun 2015 sudah tidak lagi perlu khawatir untuk antri raskin (beras miskin), karena desa berhasil membuat sebuah terobosan dengan mengalokasikan sawah untuk warga miskin, sehingga mereka bisa mengkonsumsi beras berkualitas seperti yang dikonsumsi masyarakat pada umumnya.
Namun sayangnya tidak semua Desa dapat melakukan terobosan seperti yang dilakukan desa Tuik, hal ini terlihat dari tingginya tingkat urbanisasi yang menjadi ciri gagalnya pembangunan desa. Pasalnya Urbanisasi dapat dikatakan sebagai sebuah kemunduran disaat hal ini terjadi karena gagalnya pembangunan wilayah pedesaan, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat desa dikarenakan terjadinya dekapitalisasi ekonomi desa. Indonesia memang mengalami urbanisasi yang sangat tinggi bahkan tingkat urbanisasi penduduk di Indonesia pada 2010 hingga 2035 diperkirakan mencapai 66,6 persen hal ini disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana pada tahun 2014 yang dilansir dari Antaranews.com. hal ini juga dibuktikan oleh survey yang telah dilakukan oleh Price Waterhouse Cooper dimana pada 2014, tingkat populasi urbanisasi Indonesia sebesar 51,4 persen.
Kemunduran ini semakin terlihat, dengan terjadinya penurunan jumlah lahan sawah. Dikutip dari cnnindonesia.com, Deputi Bidang Statistik Distribusi Barang dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan penurunan jumlah produksi padi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya luas lahan panen sebanyak 41.612 hektare menjadi 13,79 juta hektare dari sebelumnya 13,83 juta hektare. Tak hanya kekurangan jumlah lahan, jumlah petani juga setiap harinya semakin menurun menurut sensus yang dilakukan pada tahun 2003 dan 2013 jumlah petani turun cukup drastis dari 31 juta ke 26 juta. Mengutip pemikiran H.S Dillon yang dituangkan dalam buku “An Indonesian Renaissance” dimana ia mengatakan bahwa jantungnya sebuah negara bangsa ialah pertanian yang ada di pedesaan, namun data diatas membuktikan bahwa negara telah gagal dalam mengelola desa dan memaksimalkan potensi desa.
Masyarakat desa dewasa ini di anak tirikan, membuat kebanyakan masyrakat desa kini beralih menjadi buruh kasar hal ini dikarenakan industri dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan juga memberikan hasil yang lebih pasti, pasalnya dikutip dari okezone.com bahwa upah buruh tani hanya mencapai 40 Rb rupiah setiap harinya, sedangkan upah buruh konstruksi 2 kali lipat dari itu atau mencapai 80 Rb rupiah setiap harinya, hal ini merupakan salah satu pemicu yang membuat buruh tani lebih memilih dan beralih profesi ke buruh konstruksi. Kekeringan juga memicu banyak petani beralih dikutip dari tempo.co salah seorang petani bernama Dayat asal Kabupaten Bandung Barat memilih beralih profesi “Sudah susah mendapatkan pasokan air yang cukup, dipaksakan untuk menanam sayuran, resikonya terlalu besar,” katanya.
Meskipun begitu, perhatian pemerintah di tahun 2016 ini telah meningkat. Dana Desa dapat dikatakan sebagai contoh nyata keperdulian pemerintah akan pentingnya pembangunan desa sebagai penopang kemajuan ekonomi republik.
Tetapi sesungguhnya Dana Desa sendiri tidak dapat dikatakan sebagai solusi akan mandeknya ataupun stagnansi dan juga degredasi pembangunan desa, pasalnya seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan dana Desa harus diawasi agar tidak menjadi ladang korupsi bagi pemimpin daerah ataupun kepala desa yang menjabat. Dikutip dari antaranews.com, Ndiame Diop seorang ahli ekonomi Bank Dunia untuk Indonesia berpendapat bahwa penyaluran dana desa harus diperbaiki, apalagi menurutnya mengingat anggaran desa telah meningkat lebih dua kali lipat menjadi Rp46 triliun di 2016 dari Rp20,7 triliun pada 2015. Selain masalah distribusi, Diop menilai, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas aparatur desa untuk mengelola insentif anggaran tersebut. Hal inilah tentunya yang menjadi masalah dari dana desa yang sesunggunya digelontorkan pemerintah untuk menjadi dana pembangunan desa seperti yang telah di atur pada Pasal 19, PP №60/2014.
Karena itulah pembangunan desa sesungguhnya harus dimulai dengan cara “people driven development”, tidak dapat lagi pemerintah mengandalkan Trickel Down Effect yang nyatanya tidak berhasil menciptakan perubahan yang signifikan. Kini pemerintah harus mengembangkan kebijakan ataupun solusi yang berlandaskan Growth through equity. People driven development yang dimaksud disini meminjam pemikiran H.S Dillon dimana menurutnya setiap kebijakan yang diambil, kelembagaan yang dibangun, dan teknologi yang dirakit maupun diambil alih dari luar harus didorong oleh kebutuhan dan kemampuan rakyat yang diupayakan terus berkembang, dimana artinya manusialah yang menjadi landasan dan tujuan pembangunan. Sedangkan apa yang dimaksud dengan Growth through equity di sini ialah berdasarkan pemikiran H.S Dillon dimana ia mengatakan bahwa pembangunan harus mengusahakan suatu tahapan yang benar. Equity dalam hal ini menurutnya adalah persamaan warga negara yang paling dasar seperti pelayanan kesehatan, kecukupan makanan dan gizi, dan akses ke pendidikan. Pasalnya dengan adanya kesamaan atau Equity inilah lantas mereka yang tadinya berada di bawah dapat perlahan-lahan secara bertahap naik level, dan menghasilkan pertumbuhan atau Growth.