Partai Politik sebagai Ruang Perubahan, sudah Product Market Fit kah?
Partai politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik Indonesia. Selama 75 tahun terakhir tak terhitung sudah berapa banyak partai politik di dirikan dan berpartisipasi di ruang-ruang politik baik memiliki perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat ataupun menjadi bagian dari Kabinet di Pemerintahan.
Sejak tahun 1945, mungkin sudah ada lebih dari 150 partai politik terbentuk di Indonesia. Terdapat 2 kali pemilihan umum dengan partai politik yang berpartisipasi dengan jumlah yang cukup banyak. Pertama pada tahun 1955 dengan 39 partai yang terdaftar dan mewakili berbagai macam ideologi dan agama, lalu selanjutnya pada tahun 1999 dengan jumlah 49 partai yang berpartisipasi.


Banyak perdebatan yang menyoroti masalah sedikit atau banyak-nya partai politik dan pengaruh-nya terhadap iklim partisipasi politik yang ada di masyarakat. Namun bukan itu yang menarik perhatian saya ketika melihat berbagai macam logo partai politik pada kertas suara.
Pertanyaan yang muncul adalah, seberapa banyak orang Indonesia yang menjadi anggota partai politik dari setiap partai yang berpartisipasi pada pemilu?
Persoalan jumlah anggota partai politik menjadi sebuah pembahasan musiman setiap kali partai politik yang sudah terdaftar di Kemenhumkam harus mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi Partai Peserta Pemilu. Adu klaim akan jumlah keanggotaan menjadi hal yang lumrah di masa-masa itu karena dianggap menjadi penentu kelolosan sebuah partai politik untuk dapat menjadi bagian dari kontestasi 5 tahunan.
Sesuai dengan UU No 7 Tahun 2017 Mengenai Pemilu pada pasal 173 ayat 2 poin a sampai dengan i, jumlah kepengurusan dan keanggotaan partai merupakan syarat utama agar sebuah partai dapat menjadi peserta pemilu. Anggota yang dibutuhkan tidak banyak, hanya membutuhkan total 1,000 orang anggota dengan representasi kepengurusan di 34 Provinsi, 386 Kota/Kabupaten, dan 3547 Kecamatan.
Di era keterbukaan data seperti hari ini, menjadi mudah untuk melihat apakah partai-partai politik yang selama 1 tahun terakhir duduk di DPR memenuhi semua persyaratan itu? dilansir dari website KPU RI, ada 27 partai politik yang mendaftarkan diri untuk berpartisipasti pada pemilu 2019. Namun pada akhirnya hanya ada 16 partai politik yang lolos masuk ke surat suara.

Yang menarik dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU adalah perihal jumlah anggota partai politik calon peserta pemilu 2019. Dimana jika dilihat jumlah-nya tidak begitu banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih terdaftar yang mencapai angka 190 jt pemilih.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pada pemilu 2019 yang mendapatkan 27 jt suara saja hanya memiliki 339 rb anggota. Bisa dikatakan 1 anggota PDIP bisa menarik 81 orang lain-nya untuk memilih untuk PDIP.
Namun pada kasus lain, kita bisa menengok Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). Dengan jumlah anggota terbesar yang mencapai 828 rb anggota, HANURA hanya mendapatkan 2,16 jt suara. Dengan kata lain 1 anggota HANURA hanya bisa menarik 3 orang untuk memilih HANURA.
Jika kita tarik kesimpulan sementara, bisa dikatakan jumlah anggota tidak berbanding lurus dengan jumlah suara yang akan di dapatkan pada Pemilu.

Jika melihat data sederhana diatas, kita bisa menilai bahwa jumlah keanggotaan partai politik tidak sejalan dengan jumlah pemilih yang ada di Indonesia. Bayangkan dari 190 jt pemilih hanya 7,5 jt orang atau 3,93% yang mau mengafiliasikan dirinya dengan partai politik dan mendapatkan kartu anggota.
Mari kita bandingkan dengan Partai Politik di Malaysia. UMNO atau Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu yang berkuasa cukup lama di kancah politik Malaysia memiliki anggota sebanyak 3,2 jt orang atau 21,42% dari jumlah pemilih malaysia yang hanya 14,9 jt pemilih. Coba bandingkan dengan GOLKAR yang berkuasa sampai 35 tahun, hanya memiliki 675 rb anggota atau 0,35% dari total pemilih.
Fakta ini mempertajam pertanyaan apakah ada yang salah dengan sistem politik di Indonesia? sampai 96% pemilih di Indonesia tidak tertarik untuk menjadi Anggota Partai Politik, atau malah ada yang salah dengan Partai Politik di Indonesia? sampai tidak dapat menggaet calon pemilih-nya untuk mendapatkan kartu anggota?

Hasil pencarian saya mengingatkan saya pada buku Crossing the Chasm karya Geoffrey A. More, yang menjabarkan dengan mendetail permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha saat memperkenalkan sebuah teknologi ataupun produk baru ke pasar.
Sederhana-nya jika kita mengingat GOJEK yang sekarang menjadi Decacorn dengan valuasi melebihi $ 10 Milyar. Bayangkan pada saat awal pendirian pada tahun 2012 berapa banyak orang mengenal GOJEK? Mungkin 1 dari 1 jt orang. Lalu pada tahun 2014–2016 mungkin sudah 1,000 dari 1 jt orang mulai mengenal-nya. Namun sekarang di tahun 2020, di Indonesia sendiri mungkin tidak ada orang yang tidak mengenal ataupun tidak menggunakan GOJEK. Proses inilah yang digambarkan oleh Geoffrey A. More sebagai Adaptation Cycle.

Meskipun bisa dikatakan tidak Apple to Apple jika kita membandingan sebuah perusahaan seperti GOJEK dengan Partai Politik. Namun dari segi teori, kedua-nya dapat menerapkan teori adaptasi yang sama. Kenapa? karena jika kita merujuk pada proses adaptasi, berarti hari ini di Indonesia setelah 75 Tahun kita merdeka kita masih memasuki tahap inovasi dalam proses politik yang dibuktikan dengan tingkat keanggotaan partai politik yang masih sangat rendah dibandingkan negara-negara berkembang dan maju lain-nya.
Memang jika ditelisik dari proses politik yang ada di Partai Politik Indonesia, selama 75 tahun terakhir tidak ada yang berbeda. Kita bisa melihat proses regenerasi kepemimpinan partai politik, jika kita merujuk pada GERINDRA dan PDIP dimana Megawati dan Prabowo sudah memimpin partai lebih dari 10 tahun.
Selain permasalahan regenerasi kepemimpinan, kita juga dapat melihat bagaimana dinasti politik masih menjadi penentu dalam pencalonan kandidat yang bertarung baik dalam Pilkada maupun Pileg. Pada Pilkada 2020 bisa kita lihat sendiri Anak, Menantu, dan Keponakan dari Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri ikut memperebutkan kursi Kepala Daerah.
Hereditas masih menjadi salah satu faktor penentu dalam proses kaderisasi Politik di tingkat partai, yang membuat probabilitas bagi kalangan awam sangatlah kecil untuk dapat menjadi perwakilan partai, apalagi untuk dapat memenangkan Pilkada ataupun Pileg.
Tentu semua variable diatas menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat secara luas, cenderung tidak tertarik untuk menjadi anggota Partai Politik, dikarenakan tidak ada-nya ruang berpolitik yang adil dan bekerja untuk semua.
Berbeda jika kita lihat Partai Demokrat di Amerika yang sudah berdiri 192 tahun dengan jumlah Anggota mencapai 42 jt orang. Setiap kali pemilu mereka mengadakan apa yang dikenal sebagai Primary untuk menentukan kandidat yang mewakili partai di Pilkada ataupun Pileg. Siapapun boleh mendaftarkan diri pada proses Primary dan bertanding dalam pemilihan di internal partai yang dilakukan secara terbuka dimana semua orang dapat ikut mendaftar menjadi pemilih dalam prosesi Primary.
Contoh saja Alexandria Oscario Cortez, seorang pendatang baru mantan Bartender di New York yang dapat mengalahkan Anggota DPR Incumbent dan membawa perubahan yang cukup signifikan pada warna politik di Kongres Amerika dengan menawarkan Green New Deal.
Atau kita bisa merujuk proses pemilihan Ketua partai Buruh di Inggris, yang bahkan menawarkan ruang debat publik yang bisa ditonton oleh semua orang dan pemilihan yang tidak melulu hanya diwakilkan oleh dewan pimpinan cabang yang berujung pada aklamasi.
Tentu sudah banyak referensi praktik politik yang memberikan ruang pada publik untuk ikut menjadi bagian dalam proses politik pada sebuah partai. Di Indonesia sendiri pada tahun 2013 Partai Demokrat menghadirkan Konvensi pemilihan calon Presiden yang di ikuti 11 kandidat, meskipun sayangnya proses penentuan pemenang menggunakan hasil survey elektabilitas internal Partai.

Semua data, dan fakta yang tersaji menjadi refleksi akan proses politik di Indonesia yang ternyata masih tertinggal jauh baik dari segi proses maupun partisipasi di tingkat partai politik. Tentunya cukup banyak variable yang mempengaruhi kepercayaan publik terhadap partai politik, namun saya menyimpulkan-nya dengan cukup sederhana.