Hilang Arahnya Kelompok Masyarakat Sipil yang Reaktif

Dimitri Dwi Putra
3 min readFeb 7, 2019

Perseteruan Jerinx SID dengan Anang Hermansyah menjadi awal penanda hebohnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang mengusik para pelaku seni musik dengan banyaknya pasal karet yang dapat membelenggu kebebasan dalam berekspresi. Walaupun sebenarnya proses perancangan RUU Permusikan sudah berjalan sejak 2015, dan proses-nya menjadi begitu cepat pada tahun 2018 sesudah Anang Hermansyah menyerahkan Naskah Akademik kepada pimpinan komisi X, yang akhirnya menjadikan RUU Permusikan sebagai salah satu agenda utama DPR RI dalam Prolegnas tahun 2019.

Yang menarik dari gonjang-ganjing RUU Permusikan ini adalah hadirnya Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan (KNTLRUUP). Kelompok ini merupakan hasil reaksioner seniman-seniman yang merasa kebebasan mereka dalam berekspresi terancam dengan adanya 19 Pasal karet yang dapat dipergunakan untuk menjadi alat persekusi terhadap hasil karya mereka.

Kelompok ini dalam sekejap mendapatkan dukungan penuh dari 260 pelaku seni musik ditingkat nasional, nama-nama tersohor seperti Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Erix Soekamti (Endank Soekamti), Mondo Gascaro, Rara Sekar, Danila menjadi bagian yang ikut menandatangani petisi penolakan terhadap RUU Permusikan yang dianggap cacat.

Ketakutan ini menjadi wajar, pasalnya dalam RUU Permusikan pada Pasal 5 yang berbunyi “Dalam melakukan Proses Kreasi, setiap orang dilarang … mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum” dapat menjadi alat untuk menyerang para musisi yang bersebrangan dengan rezim. Sedangkan jika merujuk pada banyaknya karya-karya musisi yang aktif dalam perjuangan kelompok masyarakat sipil sering kali banyak bait-bait yang menunjukan bentuk perlawanan terhadap rezim.

Hal ini dibuktikan oleh pengakuan Wayan Gendo Suardana (ForBALI — Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi), dimana dia mengakui bahwa lagu Bali Tolak Reklamasi (BTR) yang dipopulerkan oleh ForBALI sebagai lagu soladiritas perjuangan melawan Reklamasi Tanjung Benoa sering kali ditolak untuk dimainkan oleh penyelanggara acara, dan jika memaksa lebih baik acara dibatalkan.

Rangkaian cerita ini pada akhirnya menjadi bom waktu dan meledak seketika saat Jerinx memulai tagar #RUUKampungan & #AnangPayah. Namun yang terlewatkan dari sorotan publik adalah kegagalan kita dalam membangun sebuah kelompok gerakan yang riil dan mampu mengawal proses perkembangan RUU Permusikan sejak digagas awalnya pada 2015.

Baik Konferensi Musik Indonesia (KAMI) atau Koalisi Seni Indonesia (KSI), dapat dianggap gagal dan menjadi salah satu aktor yang menyebabkan hadirnya 19 pasal karet pada RUU Permusikan yang beredar di publik. Budi Dalton (Budayawan asal Bandung) sebagai salah satu orang yang hadir pada Konferensi Musik Indonesia perdana yang diadakan di Ambon pada 2018 lalu juga memastikan bahwa RUU yang hari ini beredar jauh dari hasil KAMI pada 2018 dan sangat mengecewakan.

Pasalnya KAMI yang diadakan pada di Ambon tahun 2018 lalu menghasilkan 11 poin rekomendasi dimana harusnya menjadi landasan dari RUU Permsikan yang kini beredar, sayangnya tidak ada satupun dari ke 11 poin itu yang diakomodir oleh para legislator.

Situasi seperi ini sesungguhnya menunjukan bahwa KNTLRUUP hanyalah sebuah kelompok reaksioner dan KAMI yang dibantu KSI bukanlah sebuah kelompok yang siap mengajak publik memerhatikan juga terlibat aktif dalam proses pembuatan RUU Permusikan. KNTLRUUP layaknya gerakan masyarakat sipil elite lainnya hanya menjadi kelompok reaktif yang hadir saat kelompoknya merasa terancam, dan menyadarkan kita bahwa sejak awal memang kelompok ini sudah kehilangan arah dan tidak melakukan usaha-usaha konsolidasi untuk membangun sebuah kelompok yang riil dan memastikan tidak terjadinya drama dalam proses perancangan dan mengakomodir semua pihak untuk terlibat dalam proses perancangan Undang-undang.

Terlepas dari 260 nama musisi yang masuk di dalam daftar penandatangan dan pendukung koalisi, yang juga harus kita ingat adalah RUU Permusikan jika disahkan akan berlaku pada ratus ribu pelaku seni baik pendidik seni musik, penyelenggara seni musik, dan pelaku seni musik. Namun sayangnya yang terasa hari ini, diskursus mengenai RUU Permusikan menjadi sangat sempit, dan meninggalkan jauh kepentingan besar semua pelaku musik baik di tingkat nasional hingga akar rumput.

Moment ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa gerakan-gerakan reaksioner seperti KNTLRUUP, atau gerakan lainnya dalam tema yang berbeda tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan hanya menjadi painkiller. Padahal dalam proses legislasi, dan perjuangan mendorong adanya kebijakan yang berpihak dan melindungi kepentingan masyarakat sipil dibutuhkan upaya vitaminyang terus terjaga dan berkesinambungan sejak awal hingga akhirnya tercapainya kemenangan.

Jangan sampai niat baik KNTLRUUP, KAMI, dan KSI dalam proses ini hanya menjadi aksi reaktif semata, dan gagal menjadi pemantik untuk gerakan masyarakat sipil yang terkonsolidasi untuk kemenangan yang tidak sekadar soal menolak dan mencabut RUU Permusikan, namun lebih jauh dari itu berhasil menghadirkan Ekosistem & Industri Musik yang berpihak pada semua pihak.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Dimitri Dwi Putra
Dimitri Dwi Putra

Written by Dimitri Dwi Putra

Former Green Party National Presidium (2019–2024). 9+ yrs in FinTech for MSMEs & microfinancing. Championing sustainable growth & progressive solutions.

No responses yet

Write a response